Melestarikan Hutan Dari Desa

Melestarikan Hutan Dari Desa - Berbicara tentang lestarikan hutan grada paling depan yang berperan ialah derah yang di sebut Desa, sebab Desa bersentuhan langsung dengan hutan. Baik manfaat dari adanya hutan, ataupun dampak dari kerusakan hutan. Kota pada umumnya seperti sudah terlanjur digunduli untuk bangunan-bangunan pencakar langit. Namun yang terjadi sekarang ini Desa tergiur menggunduli hutannya agar terlihat modern dan urban seperti kota-kota.

Saya adalah anak daerah asli dari sebuah desa bernama Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. Lahir dan besar di desa membuat saya memiliki kesan tersendiri tentang hutan. Saya ingat betul pada tahun 2001 sampi dengan 2011, desa kami adem dan teduh masih banyak lahan hutan. Hutan di pinggir-pinggir rawa masih dapat kita jumpai aneka ragam jenis Anggrek yang menempel di pohon, dengan ragam warana dan bentuk bunga.


Forest Talk With Blogger Pontiank di Hotel Ibis
Forest Talk With Blogger Pontiank di Hotel Ibis

Selain itu jika kami berladang, sewaktu-waktu masih kami jumpai Kijang. Mendengar riuh suara Simpanse, kicauan suara jenis-jenis Burung yang bersahut-sahutan. Pada bulan-bulan tertentu dapat melihat pemandangan hutan dengan pucuk pohon berwaran merah dari pohon Pucuk Merah yang sekilas mirip seperti pohon-pohon  di musim gugur. Pohon kayu gabus masih mudah dijumpai untuk  dibikin mainan mobil-mobilan. Setelah tahun 2011 keatas segalanya mulai berubah perlahan, Sawit mulai masuk di wilayah desa. Tidak luas jika dibandingkan dengan daerah Pandan. Namun siapa yang bisa memastikan jika tidak bertambah luas?

Sekarang desa kami sudah sama panasnya dengan Kota Pontianak. Hutan mulai menjauh dari desa. Pada bagian hutan desa, hutan mulai berganti Sawit. Mata pencaharian penduduk desa adalah petani karet (Penoreh). Setelah ada Perusahaan Sawit dampak pertama yang paling terasa adalah jalan menuju kebun Karet jika dua atau tiga hari diguyur hujan dengan intensitas lebat banjir dengan ketinggian air selutut. Melelahkan petani, tenaganya sudah terkuras sebelum mulai menoreh.

Hal kedua ketika musim kemarau, sumur-sumur kami akan mengalami kekeringan. Biasanya kami pergi ke sungai Rawa yang ada di sekitar desa untuk keperluan mandi dan mencuci. Setelah ada Sawit itu, sungai pun ikutan kering. Bahkan warna airnya cendrung keruh banyak mengandung lumpur berwarna kuning.

Tragedi fatal terjadi pada kemarau tahun 2018. Tidak hujan dalam beberapa minggu perusahan Sawit menambah lahanya. Buka lahan dengan cara membakar tanpa pengawasan yang terjadi kebun karet milik lima warga ikut terbakar dengan jumlah lahan yang tidak sempit. Pada kejadian itu pula kampung kami diserang oleh negara asap. Sesak, engap, panas. Saya rasa malah lebih panas dari Pontianak. Kabar menyedihkan sampai telinga saya, ketika saya pra penelitian untuk proposal Skripsi.

Kepala Desa memberitahukan kepada saya rencana desa yang akan membuat Bumdes dengan cara Membuka lahan Sawit. Bagai tersambar petir di siang bolong. JEDUAR! Pilu hati  mendengar rencana pembangunan desa. Sayangnya saat itu saya tidak dapat membantah tidak setuju, sebab saya pun tidak punya wawasan Bumdes dari hasil pengelolaan hutan. 


Forest Talk With Blogger Pontianak

Pada tanggal 20 April 2019 saya berkesempatan di undang dalam acara Forest Talk With Blogger Pontianak di Hotel Ibis dengan tema "Menuju Pengelolaan Hutan Lestari" yang diselenggarakan oleh www.lestarihutan.id dan www.yayasandoktorsjahrir.id . Acara Forest Talk With blogger ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dr. Amanda Katili Niode, Dr. Atiek Widayati, Pak Dito dari Desa Makmur Peduli Api (DMPA) Region Kalbar.

Dr. Amanda Katili Niode membuka metari pertama dengan kalimat "Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terdampak perubahan iklim. Itu kenapa saat ini musim sudah tidak dapat ditebak seperti dulu." Saya langsung setuju dengan kalimat beliau, perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi sangat kami rasakan sebagai petani karet dan sayur-sayuran.

Dulu ada kejelasan kapan musim paceklik, hingga sebelum masuk musim tersebut kami bisa mempersiapkan kebutuhan untuk mengahadapi musim paceklik. Saat ini? Susah. Hujan, getah karet karam. Kemarau, daun gugur getah karet tidak keluar. 

Memang kebun karet sendiri merupakan konversi hutan, namun kebun karet di desa kami memiliki ciri khas yaitu masih bercampur dengan tumbuhan pohon lainnya, seperti Pohon Tengkawang, Pohon Mantan, Pohon Durian, Pohon Cempedak, Pohon Keluih, beberapa pohon lokal yang dianggap memiliki manfaat bagi masyarakat dan Pohon-pohon besar yang dibiarkan hidup. Dulu sebelum ada perusahaan Sawit lahan masyarakat masih banyak dibiarkan menjadi hutan, karena tidak ada akses menuju lahan yang berdampingan dengan hutan desa. Tidak ada yang berani. Setelah Sawit datang dan memberikan akses dapat dijangkau, sebagaian masyarakat memperluas kebun karet mereka. 

Saya sendiri ketar-ketir melihat fenomena tersebut, masyarakat harus dialihkan kepada ekonomi bidang lain yang tidak menghilangkan identitas hutan mereka, tapi apakah itu?

Ternyata saya menumukan solusinya di acar Forest Talk With Blogger ini, yaitu pada materi Pohon dan Ekonomi Kreatif. Bahwa ada loh cara pengelolaan hutan yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat tanpa harus menghilangkan hutan desa. Yang dapat menjadi program bumdes, dan sawit ukan satu-satunya cara. Yaitu dengan cara menanam pohon untuk ekonomi kreatif diantaranya:

  • Pohon Sumber Serat
  • Pohon Pewarna Alami
  • Pohon Bahan Kuliner
  • Pohon Sumber Furniture
  • Pohon Sumber Barang Dekorasi 
  • Pohon Sumber Minyak Atsiri

Contoh:



Melalui acara Foret Talk With Blogger ini saya jadi punya ide untuk ekonomi kreatif di desa yang akan saya diskusikan dengan Kades. Ditambah pemberdayaan terhadap masyarakat yang minim pendidikan, dan skill. Memanfaatkan Internet yang semakin mudah diakses untuk pemasaran, serta klaborasi dengan daerah lain yang memang penduduk desanya pengerajin Tenun daerah khas Sintang. Maka saya sangat berterimaksi kepada Yayasan Doktor Sjahrir atas wawasan berharga mengenai hutan lestari.

Sehingga untuk mencapai kesejahteraannya desa tidak perlu merubah jati diri menggundulkan hutan menjadi gedung-gedung ataupun Perkebunan Sawit yang ikut menyumbangkan kerusakan hutan. Pencerdasan mengenai wawasan kelesatrian hutan dan pengelolaan hasil hutan perlu digaungkan ke desa-desa sebagai garda terdepan. Maka penting bagi belogger, media, dan mahasiswa ikut berperan menyampaikan wawasan ini, agar dapat melestarikan hutan dari desa

9 komentar untuk "Melestarikan Hutan Dari Desa "

  1. Mantap, lanjutkan. Selain dari desa juga boleh memberikan praktik langsung mengenai hutan kepada pemuda-pemudi di desa, jabarkan dengan detail akan manfaatnya hutan bagi mereka dan lingkungan sekitar. 1 orang menanam dan memelihara pohon, secara sederhana dan konsisten. Siap-siap akan ada saatnya hutan akan kembali hijau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Kak masukannya. Siap. Kita sama-sama gaungkan ini di masing-masing daerah yuk. ;)

      Hapus
  2. Tetap pertahankan anak muda, gaungkan terus lestari hutan ke khalayak ramai

    BalasHapus
  3. Iya. Saya juga merasakan hal sama. Beruntunglah orang-orang yg memiloki Desa masih asri dg hutan yg masih terjaga...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya sudah mulai jarang kak sekarng. Sawit every whare

      Hapus
  4. mantab sekli kak dian. semoge kamapanye lestari hutan nd berhenti sampai disini. karena hutan terus berkurang tiap tahunnya..

    BalasHapus
Back To Top